Anezka Salsabila Rahmandita 74
Awal
tahun 2021 kami sekeluarga pergi mengunjungi sahabat Ayahku di Bali. Saat itu
sekolah masih dilakukan Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ), sehingga kami memutuskan untuk pergi sekeluarga ke Bali dan
tetap menikmati sekolah dengan suasana yang berbeda.
Perkembangan
virus corona di Indonesia masih belum terlihat ujungnya, untuk alasan keamanan
dan kenyamanan kami sekeluarga memutuskan untuk berangkat dari Bandung ke Bali
menggunakan transportasi pribadi. Dalam perjalanan menuju Bali, kami singgah di
beberapa kota. Selain untuk beristirahat, kami pun menyempatkan untuk menikmati
wisata dan kuliner khas daerah yang kami kunjungi. Pertama kami transit di kota
Semarang. Di sana kami menikmati suasana malam di simpang lima yang merupakan
pusat kota, serta menyantap soto semarang yang merupakan kuliner khas daerah
ini.
Keesokan
harinya kami melanjutkan perjalanan, dan singgah sebentar ke dusun semilir yang
merupakan objek wisata yang viral karena perosotan warna warni yang menantang
adrenalin. Perjalanan kami selanjutnya berakhir di Kota Solo. Di sana kami
menghabiskan satu malam. Kami mengunjungi rumah atsiri yang terkenal sebagai
produsen minyak wangi herbal. Di Rumah Atsiri kami diajarkan cara membuat sabun
dan juga dikenalkan dengan tanaman herbal lainnya.
Kota
selanjutnya yang kami singgahi adalah Banyuwangi. Di kota inilah kami
beristirahat untuk siap-siap melakukan penyebrangan ke Bali. Keesokan harinya
sampailah kami di Pelabuhan Ketapang, dan kejadian inilah yang akan aku
ceritakan lebih lanjut.
Pemeriksaan
Swab Pertamaku
Sampai
di Pelabuhan kami diminta untuk masuk ke jalur khusus karena kendaraan kami
memiliki nomor polisi plat D yang artinya dari luar kota. Kami diminta
keterangan tujuan perjalanan serta menyiapkan dokumen hasil pemeriksaan swab
antigen sebagai syarat penyebrangan. Saat itu baru saja diberlakukan aturan
baru bahwa anak usia lebih dari 10 tahun harus menunjukkan hasil swab
antigen. Aku kaget saat bunda bilang
bahwa aku juga harus di swab. Jujur saja ini pengalaman pertamaku. Aku sering
mendengar bahwa pemeriksaan ini menakutkan dan aah pokoknya tidak terbayang
rasanya. Ayah dan Bundaku terus memberiku semangat bahwa pemeriksaan hanya
sebentar dan tidak terlalu sakit. Namun entah kenapa jantungku terus berdetak
kencang, dan tanganku menjadi dingin. Karena ini adalah suatu peraturan,
akhirnya akupun memutuskan untuk ikut test.
Aku
memasuki klinik pemeriksaan dengan kaki dan tangan gemetar, menunggu giliran
test seperti sedang menonton film horror, dan tiba-tiba, “Anezka”, namaku
dipanggil. Inilah giliranku. Petugas pemeriksa memintaku untuk duduk lalu
menurunkan masker sedikit ke bawah. Kemudian kepalaku ditengadahkan. Petugas
membuka plastik yang berisi, seperti cotton bud. Petugas memberiku
aba-aba dengan bilang siaap ya!
“Ya
Allah,” Aku berdoa dalam hati sambil menenangkan diriku sendiri, dan petugaspun
memasukkan alat tadi ke hidung kanan dan kiriku. Alhamdulillah akhirnya selesai
juga dan semuanya berjalan lancar. Harus kuakui rasanya tidak sesakit dan
semenyeramkan yang aku bayangkan. Rasanya hanya tidak nyaman, seperti apabila
kita berenang kemasukan air, dan aku merasa ingin bersin-bersin setelahnya.
Rasa tidak nyaman itu hanya sebentar saja, mungkin kurang dari satu jam.
Alhamdulillah
hasil swab kami semuanya negatif, dan kami pun dapat melanjutkan perjalanan ke
Bali. Mobil kami diarahkan untuk menaiki kapal Ferry yang besar. Di area parkir
kami hanya keluar untuk melihat suasana pantai dan laut, sisanya Ayahku meminta
kami untuk tetap di Mobil karena khawatir bertemu dengan banyak orang di area
kursi penumpang kapal. Penyebrangan hanya 40 menit saja, dan kami pun sampai di
Pulau Bali.
Di
Bali kami menghabiskan waktu kurang lebih dua minggu. Bunda ku memesan villa
privat yang sangat bagus. Luas dan tentunya lebih dari cukup, yang teridiri
dari 2 kamar, dapur, mesin cuci, ruang tamu dan kolam renang pribadi. Di Bali
Kami mengunjungi teman Ayahku dan juga sesekali keluar villa untuk mengunjungi
pantai dan wisata lainnya.
Saat
itu pemerintah menutup kunjungan internasional ke Indonesia, khususnya ke Bali.
Pulau Dewata ini pun berubah menjadi kota mati yang tidak ada pengunjungnya.
Namun dilain pihak kami lebih senang karena dapat menikmati pantai serta wisata
lain yang kosong, bahkan seperti pantai pribadi karena hanya kami dan beberapa
penduduk lokal saja yang main di sana.
Di
Pusat kota area Kuta hampir semua toko tutup, hanya mall saja yang buka,
dan itu pun sangat sepi pengunjung. Bali yang terkenal dengan kehidupan nonstop
24 jam berubah seketika. Penduduk lokal pun mengeluhkan kondisi ini, karena
banyak penduduk yang hidup dari berjualan, jasa wisata, maupun kuliner yang
harus gulung tikar karena tidak ada pembeli. Kondisi ini sangat menghawatirkan,
semoga virus korona segera menghilang dan kondisi menjadi normal Kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar